Jumat, 01 Juni 2018

Harapan ku pada Mu subur kembali

Aku seperti menyiapkan kematian sendiri, tak ada keinginan yg menggebu seperti tahun-tahun sebelumnya. Mungkin bisa dibilang aku menyerah, menyerah dengan keadaan dan bahkan malu dgn kondisi diri ku sendiri.

Ketika bayangan akan sebuah pernikahan menari dipelupuk mata, ku kubur ia dalam-dalam, berjuta alasan ku tampilkan agar ia sang harapan itu mati tanpa ku sadari.

Adakah dia yg bersedia menerima diri ini..?
Adakah dia yg siap menerima takdir menjadi seorang suami dari seorang wanita yg hidupnya bergantung dgn obat-obatan, yg kesehariannya hanya dirumah..?
Adakah pria itu yg bersedia tak hanya berbagi kesedihan dan kesakitan tetapi dia harus siap menanggung biaya pengobatan terlebih lagi jika wanitanya ini harus mendekam di salah satu kamar rumah sakit..?

Pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengganggu ku hingga aku malu membayangkannya, aku malu memintanya..
Ketakutan demi ketakutan selalu hadir membuat ku tak berdaya, membuat ku menyerah, mungkin memang benar takdir ku adalah kesendirian hingga tutup usia.

Tidak..
Aku tidak bermaksud marah pada-Nya, meski terkadang lisan ini menggerutu, mengeluh atas ketidakadilan yg ku simpulkan sendiri, sakit yg diberinya, karier dirampas dari ku, tersisih, hingga kemudian aku mewakafkan diri tuk umat ini tak cukup menjadi tebusan agar aku bisa menggenapkan dien ku.

Tahun berganti dan kondisi masih sama saja, entah dengan cara apa lagi agar aku bisa menggapai keinginan satu itu. Dan kemudian akhirnya aku tersadar, mungkin takdir memang tak berpihak pada ku, perlahan ku lupakan mimpi itu, biarkan saja hidup berjalan seperti saat ini seraya menyiapkan kematian yg tiap saat mengintai diri..

Tapi setelah melihat perjuangan seorang Hanum, aku seperti melihat diri ku sendiri, kami sama-sama diuji, hanya saja beda ujiannya, dia diuji dgn keinginan memiliki seorang anak, sementara aku diuji dgn keinginan memiliki seorang pendamping. Melihat perjuangannya aku pun tersadar bahwa harapan tak boleh mati, ia harus tetap hidup, takdir harus dijemput, semua hanya perkara waktu dan saat ini aku diminta untuk bersabar sekali lagi, berdoa sekali, berharap sekali lagi dan berjuang sekali lagi...

Allahumma shoyiban nafi'an.

Duhai Allah diluar sana hujan turun membasahi bumi, aku disini di dalam kamar menangis menuliskan segala rasa hati, pinta ku pada Mu di malam 17 Ramadhan ini, mohon jangan padam kan asa ku, jangan matikan harapan ku, beri aku titik cahaya agar aku percaya jodoh untuk ku sudah Kau siapkan, Kau sudah menyiapkan dia dengan sebaik-baiknya untuk menjaga ku, menguatkan ku, menjadi pembuka pintu syurga bagi ku, yg menemani ku menghabiskan sisa usia dengan berjuang bersama di jalan ini, jalan yg telah Engkau pilihkan untuk ku....

Segera pertemukan kami dalam keridhoan Mu..

#17Ramadhan

Jumat, 16 Februari 2018

Banjir di februari

Tak pernah sekalipun terpikirkan dibenak ku bahwa akan ada drama yg menguras emosi dan airmata. Entah ujian apa lagi ini seakan tak pernah berhenti membututi ditiap desahan nafas, ada saja persoalan hidup seakan-akan aku tak berhak bahagia.

Siapalah aku ini beraninya berbicara begitu, apakah hati begitu sakit hingga lupa bagaimana caranya berpikir jernih dalam mengambil keputusan. Kenapa selalu saja kata yg jadi penyebab segala sakit yg mendera didalam jiwa, yg membuat lemas sekujur badan, membuat lemah semangat yg tertanam di jiwa...

Hari ini aku seperti orang yg tak memiliki arah kemana tujuan hidup dibawa, karena kata berhasil melumpuhkan daya juang, karena kata berhasil memporak-porandakan keyakinan yg telah dibangun.